UPACARA NGABEN MASSAL DI DESA PAKRAMAN SUDAJI : SEBUAH KAJIAN BUDAYA
PENELITIAN TESIS I NYOMAN SUKRAALIAWAN
BAB. I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.
Segi
kehidupan beragama pada dasarnya meliputi kepercayaan atau keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib,yang
bersifat supranatural yang dapat
berpengaruh terhadap gejala alam
dan kehidupan manusia. Kepercayaan itu
menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa,
memuja dan lainnya,
serta menimbulkan sikap
mental tertentu, seperti rasa
takut, pasrah, bhakti dan lainnya dari
individu dan masyarakat
yang mempercayainya.
Kepercayaan keagamaan
dipusatkan atau didasarkan kepada kepercayaan
kepada adanya kekuatan
gaib, yaitu Tuhan
yang berada di atas
alam ini (supernatural), atau
yang ada di balik alam
fisik (metafisik). Tuhan, Roh,
tenaga gaib, mukjizat, alam gaib
adalah hal-hal yang
diluar alam nyata.
Semuanya ini berada di atas
(super, supra) atau di balik (meta) alam
natur atau alam
nyata. Kepercayaan kepada
adanya kekuatan gaib
lebih dikenal dengan
supernatural beings, yang
merupakan inti kepercayaan
keagamaan pada umumnya (Agus, 2006:61).
Agama dan
kehidupan beragama demikian
kompleks, yang di dalamnya
terdapat unsur keyakinan, unsur
hukum dan moral,
dan unsur penghayatan
ruhaniah. Aspek keyakinan tampil
dalam kepercayaan kepada
yang gaib, dalam
upacara ritual, dalam
benda-benda yang dipercayai
sebagai benda sakral
dan dalam penghayatan
rohaniah. Kontjaraningrat
(1987:80), menyebut aspek kehidupan
beragama dengan komponen
religi. Menurutnya ada
lima komponen religi,
yaitu: (1) emosi keagamaan, (2)
sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan
upacara, (4) peralatan ritus dan
upacara, dan (5) umat beragama.
Dalam kaitan
dengan sistem ritus dan
upacara, masyarakat Hindu di Bali mempunyai beraneka ragam ritual
keagamaan yang merupakan
ekspresi dari sistem keyakinan yang berlaku
dalam agama Hindu.
Bentuk-bentuk ekspresip tersebut tampak dalam rangkaian upacara dalam “stages along the
life cycle” maupun upacara-upacara agama
yang diperuntukkan bagi kepentingan
pemujaan dunia bawah (buta) maupun
dunia atas (dewa) (Triguna,1994:74).
Upacara yang berkaitan
dengan daur hidup (stages
along the life cycle) yang meliputi
“lahir-hidup-mati” selalu
dilakukan dengan suatu
proses upacara (ritual). Demikianlah,
misalnya dalam kelahiran
terdapat upacara kepus
pungsed (kepus pusar), upacara tutug kambuhan
(saat bayi telah berumur
42 hari), upacara
nelu bulanin atau tigang sasih
(saat bayi telah berumur
105 hari). Dalam kehidupan selanjutnya
terdapat upacara atau
ritual menek bajang (menginjak dewasa),
upacara potong gigi, upacara perkawinan
dan upacara kematian dalam bentuk atiwa-tiwa sampai
pada upacara Ngaben dan rangkaiannya.
Dalam praktik
keagamaan pada masyarakat Hindu
di Bali, pelaksanaannya diletakkan
pada kerangka dasar
agama yang terdiri dari
tatwa, susila dan upacara.
Tattwa (filsafat) merupakan uraian filosofis
tentang ajaran agama
yang tersimpul dalam Panca Sraddha dan Tri
Hita Karana. Susila (etika), merupakan
seperangkat nilai dan
norma perilaku yang
bersumber secara langsung
atau tidak langsung
dari tattwa, yang mengatur
perilaku manusia dalam
upayanya untuk mewujudkan
tujuan dan hakikat
hidupnya. Upacara (ritual),
sebagai kerangka dasar
yang ketiga dalam
agama Hindu, merupakan
rangkaian kegiatan umat
dalam berhubungan dengan
Hyang Widhi, Atman, Leluhur, rsi, manusia, dan
alam sekitar.
Upacara keagamaan, sebagai sub struktur dari sistem keagamaan
dalam agama Hindu, diwujudkan
dalam bentuk persembahan
atau korban suci (yajña),
dan dihayati sebagai
manifestasi kongkret agama.
Kelima korban suci
tersebut disebut Panca
Yajña, yang diarahkan kepada
deva, rsi, pitra, manusa, dan bhuta.
Dengan demikian pelaksanaan upacara yajña terdiri
dari Deva Yajña,
Rsi Yajña, Pitra Yajña, Manusa
Yajña dan Bhuta
Yajña.
Menurut Kitab Manavadharmasastra, III.68,71–VI
(Pudja,2004) ada dua alasan
utama yang mewajibkan
umat Hindu melaksanakan Panca Yajña
tersebut, yakni penebusan dosa
kepada Hyang Widhi dan membayar
atau melunasi tiga
jenis hutang dalam
rangka pencapaian
kebahagiaan abadi atau moksa. Ketiga
jenis hutang termaksud adalah hutang kepada
dewa (Deva Rna), hutang
kepada orang tua
dan leluhur (Pitra Rna), dan yang
ketiga adalah hutang
kepada rsi atau guru (Rsi
Rna). Kewajiban melunasi
ketiga jenis hutang
tersebut disebut Tri Rna,
yang mempunyai makna
moral-etik-spiritual bagi manusia. Oleh
karena itu manusia
mempunyai kewajiban secara
berkesinambungan selama hidupnya
untuk melaksanakan panca yajña.
Dalam
hubungan dengan upacara-susila-tattwa, sebagai kerangka ajaran agama
Hindu, menurut Kembar Kerepun (2005), pada
umumnya orang Bali
kurang memahami agamanya secara
holistik, yang berimbang antara
upacara, susila dan tattwa. Dalam
prakteknya pelaksanaannya masih berat
ke upacara yang
glamor sifatnya bak
sebuah festifal, yang
menyerap waktu, tenaga,
dan uang yang
tidak kecil jumlahnya. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh
Greame Mac Rae, seperti
yang dikutip oleh Kembar Kerepun (2005), orang
Bali sedikitnya mengalokasikan 40%
dari pendapatannya dan
30% dari waktunya
untuk kegiatan upacara
agama, adat dan
kemasyarakatan. Bisnis banten merupakan
bisnis besar di Bali,
sementara itu investasi untuk
pendidikan dan kesehatan
sangat rendah dibandingkan
dengan pengeluaran untuk
sarana upacara.
Ngaben sebagai salah
satu yajña
yang terdapat di dalam ajaran panca yajña
adalah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh para
pratisentana (pelanjut
keturunan). Kewajiban Ngaben
bagi para pratisentana ini, adalah untuk
membayar hutang kepada para
leluhur (pitra rnam) dan juga sebagai
perwujudan sradha bhakti kepada leluhur
yang telah berjasa
memelihara dan juga
memberikan pendidikan.
Secara
filosofis maupun teologis, tujuan Upacara
Ngaben adalah
sama. Namun, sesuai
dengan idiom desa,
kala, patra, maka pada setiap Desa Pakraman selalu terdapat
tradisi-tradisi dalam pelaksanaan
upacara keagamaan seperti
halnya Ngaben. Namun, tradisi yang
berkembang di dalam masyarakat
terkadang terasa sangat
memberatkan bagi masyarakat bersangkutan.
Tradisi Upacara
Ngaben di Desa Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan,
Kabupaten Buleleng terutama
pada golongan masyarakat
kaya dilakukannya secara eksklusif, megah dan
mewah sehingga tidak sedikit
dana yang harus
dikeluarkan untuk Ngaben.
Berdasarkan pengamatan sekilas, dalam hitungan saat ini, besarnya
dana Ngaben yang diperlukan berkisar antara seratus lima puluh juta sampai
dua ratusan juta
rupiah. Maka dengan demikian, di kalangan masyarakat
terdapat anggapan bahwa
untuk bisa Ngaben harus
mempunyai dana ngabehin
(melebihi). Dengan persepsi
ini maka Ngaben
menjadi “label” atau
“cap” bagi masyarakat
kaya di Desa Pakraman Sudaji.
Masyarakat kurang mampu
tidak pernah bisa
menjalankan kewajiban Ngaben untuk
para leluhurnya, karena
beban biaya yang sangat
besar tersebut. Sebenarnya berdasarkan
sastra agama dinyatakan bahwa suatu
upacara yajña seperti Ngaben,
tidak harus menghabiskan biaya
besar, tetapi bisa
dilakukan secara lebih sederhana,
disesuaikan dengan kemampuan dengan konsep
nista, madya, utama.
Tradisi Ngaben besar seperti
warisan para raja ini, yang dilaksanakan
di Desa Pakraman Sudaji telah mendominasi dan mensubordinasikan Ngaben
secara sederhana. Dengan
pemarginalan tradisi Ngaben secara sederhana atau juga diistilahkan dengan Ngaben
ngerit, Ngaben ngegalung atau
juga Ngaben massal yang sudah
sering dilakukan di daerah atau
tempat-tempat lain di Bali, menjadi kurang populer pada
masyarakat di Desa Pakraman Sudaji.
Dengan adanya dominasi tradisi Upacara Ngaben dengan biaya besar seperti ini, akhirnya jika kelompok
masyarakat yang tergolong tidak
terlalu kaya (menengah kebawah)
menyelenggarakan Upacara Ngaben, terpaksa harus mengorbankan harta produktif
mereka seperti sawah, ternak,
emas dan lain-lain untuk
mendukung pembiayaan Upacara
Ngaben. Dalam
kaitannya dengan fenomena
semacam ini maka pelaksanaan dari Upacara Ngaben
di Desa Pakraman Sudaji, secara
terselubung memendam
aspek-aspek sosial, diantaranya perasaan
malu, yang di dalam
bahasa Bali lazim dikenal
dengan ungkapan-ungkapan lek, sing
juari, kaciwa dan
ungkapan-ungkapan sejenis lainnya apabila
mereka tidak mampu
melangsungkan Upacara Ngaben dalam
ukuran-ukuran sesuai dengan
takaran-takaran sosial tersebut. Oleh
karena itu, besarnya biaya dalam Ngaben selalu
menjadi masalah, terutama
pada masyarakat kurang
mampu. Ini tidak
bisa dibiarkan terus
menerus menjadi masalah
di dalam masyarakat, karena
secara agama, Ngaben adalah
merupakan kewajiban
(swadharma) yang harus
dilakukan oleh para keturunan (pretisentana) yang masih
hidup. Dalam permasalahan
seperti ini diperlukan
adanya suatu solusi
atau pemecahan sebagai
jalan keluar dari
tradisi upacara yang
sangat membebani masyarakat.
Dalam
penulisan ini, walaupun bukan
tujuan peneliti untuk
membuat suatu perbandingan
antara tradisi Ngaben secara
besar-besaran yang dilakukan
secara individu di dalam
masyarakat, maka hanya
untuk sekedar penggambaran,
perlu dikemukakan bahwa
di samping biayanya yang
mahal, dari segi prosesi
upacaranya juga memakan
waktu yang cukup
panjang yaitu sampai
berbulan-bulan. Cara Upacara
Ngaben seperti
ini menurut Pitana (2005 : 34) dikatakan sebagai sesuatu
yang tidak sesuai
dengan tuntutan kemajuan
dunia, sehingga memerlukan
suatu tindakan untuk
adaptasi, rekonstruksi dan
juga reinterpretasi terhadap
suatu praktek budaya
tertentu.
Sebagai
sebuah solusi terhadap permasalahan besarnya biaya Upacara Ngaben
yang
dirasakan oleh sebagian besar masyarakat
di Desa Pakraman Sudaji, maka Prajuru
Desa Pakraman
Sudaji menyelenggarakan Upacara Ngaben
Massal di tingkat Desa Pakraman, yang
untuk pertama kalinya
dilangsungkan pada tahun
2004. Ngaben Massal sebagai sebuah
konstruksi budaya baru dalam cara Ngaben, di Desa Pakraman Sudaji
adalah sebuah fenomena
menarik di era masyarakat
modern. Karena apa yang
terjadi di sini dalam
permukaannya menampakan
suatu kontras dengan kecendrungan
masyarakat modern dengan
suatu kecendrungan pada pola
hidup individualistis dengan peluang
yang lebih besar
untuk berekspresi ke dalam kebebasan-kebebasan gaya hidup
yang lebih ekspresif. Namun yang
terjadi dalam praktek Upacara Ngaben Massal di Desa Pakraman
Sudaji, justru memperlihatkan nilai-nilai kebersamaan (egaliter) yang bersifat
komunal yang semakin meningkat. Dengan penomena
ini, sangat menarik
perhatian peneliti untuk
mengkajinya ke dalam sebuah
penelitian tesis dengan
judul : “Upacara Ngaben Massal
Pada Masyarakat Desa Pakraman Sudaji,Kecamatan Sawan, Kabupaten
Buleleng: Sebuah Kajian
Budaya”.
1.2 Rumusan
Masalah.
Berdasarkan uraian latar
belakang masalah sebagaimana
telah diungkapkan di
atas, maka selanjutnya dikemukakan
rumusan masalah penelitian
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah prosesi
Upacara Ngaben Massal pada masyarakat di Desa Pakraman
Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng?
2. Faktor-faktor apakah
yang mendorong masyarakat Desa Pakraman Sudaji, untuk mengikuti
Ngaben Massal?
3. Bagaimanakah masyarakat Desa Pakraman
Sudaji mereinterpretasi makna Ngaben
Massal dalam
perkembangan saat ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian
dibedakan menjadi tujuan
umum dan tujuan
khusus sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan
Umum.
Tujuan penelitian ini,
secara umum adalah
untuk mendeskripsikan Upacara
Ngaben Massal yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Pakraman Sudaji,
menyangkut proses, motivasi
masyarakat serta pemaknaan
kembali terhadap Upacara
Ngaben Massal dalam perkembangan
budaya progressif saat
ini.
1.3.2 Tujuan
Khusus.
Secara khusus
tujuan penelitian ini
adalah :
(1) Untuk mengetahui
proses Upacara Ngaben Massal pada masyarakat di Desa Pakraman
Sudaji, Kecamatan Sawan
Kabupaten Buleleng,
(2) Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mendorong masyarakat Desa Pakraman
Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten
Buleleng untuk mengikuti Ngaben
Massal, dan
(3) Untuk mengetahui reinterpretasi makna terhadap Ngaben
Massal pada masyarakat di Desa Pakraman
Sudaji kecamatan
Sawan, Kabupaten Buleleng.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan
manfaat praktis sebagai
berikut.
1.4.1 Manfaat
Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada (1) pengetahuan teoritis
tentang proses Ngaben Massal; (2) pengetahuan teoritis tentang faktor-faktor
pendorong masyarakat untuk mengikuti
Ngaben Massal; (3)
pengetahuan teoritis tentang
pemaknaan kembali terhadap Ngaben
Massal oleh masyarakat.
Di samping itu,
untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat pada
pengembangan teori-teori sosial
yang relevan seperti
sosiologi agama dan juga
teori-teori kebudayaan.
1.4.2 Manfaat
Praktis
Secara praktis
hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada masyarakat dan
juga lembaga-lembaga pembina umat seperti Majelis Desa Pakraman, dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), untuk
menentukan langkah-langkah pembinaan lebih
lanjut kepada umat, menuju pada
peningkatan pemahaman masyarakat terhadap arti dan makna Upacara
Ngaben sesuai
dengan sastra agama
sehingga nantinya tidak
terjadi lagi kekeliruan dalam pemahaman
terhadap pelaksanaan Upacara Ngaben.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar